Peran Generativitas dalam Mewariskan Nilai-nilai dalam Keluarga

Peran Generativitas dalam Mewariskan Nilai-nilai dalam Keluarga (Ghina Rifkiya)

Dalam studi lapangan yang dilakukan kepada satu orang laki-laki dan satu orang perempuan usia dewasa madya, didapati temuan adanya keinginan kedua responden untuk menurunkan nilai-nilai serta pengalaman hidup kepada generasi berikutnya. Dalam wawancara dengan Y, responden berusia 50 tahun yang memiliki dua orang anak, didapati responden menceritakan berbagai pengalaman kepada anak-anaknya yang dianggap dapat memotivasi atau dapat memberikan masukan untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya. Suatu ketika anaknya mengatakan bahwa ia ingin menghindari pelajaran matematika ketika berkuliah, Y berbagi pengalamannya bahwa mempelajari matematika adalah perlu, namun ia tidak perlu khawatir karena tidak semua orang harus menjadi ahli dalam bidang matematika. Di kesempatan lain, karena kekhawatiran melihat anaknya yang ia nilai perfeksionis sama seperti ia dulu, Y memberi nasihat agar anaknya tidak mengulangi “kesalahan” yang sama yang ia nilai menyebabkan stres dalam hidup. R, responden kedua berusia 46 tahun, dalam wawancara juga membagikan cerita dalam memberikan pemahaman kepada anaknya mengenai pendidikan dan karir. R, seorang dokter gigi spesialis, meluruskan pemahaman anaknya mengenai pekerjaan dokter gigi yang dinilai lebih rendah daripada dokter umum. Ketika anaknya sudah masuk berkuliah di kedokteran gigi, Bu R juga berbagi perspektif bahwa ia tidak harus meniti karir yang sama seperti orang tuanya.

Begitu pula dengan nilai hidup. Di masa lalu, Y merasa belum menjalankan agama dengan taat. Namun kini ia menyadari pentingnya agama dalam hidup, ia berusaha untuk menanamkan hal yang sama kepada anak-anaknya. Dalam cerita yang ia bagi ketika wawancara, ia senantiasa mengingatkan anak-anaknya untuk tidak lupa mendirikan salat. Di sisi lain, R dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat mementingkan agama. Ketika ditanya mengenai apa yang ingin diwariskan kepada anak-anaknya, ia menjawab bukanlah harta, melainkan hal-hal yang baik dan prinsip-prinsip (nilai) sesuai apa yang ditanamkan orang tuanya dulu.

Paparan dalam studi lapangan di atas mencerminkan sikap generativitas dari Y dan R melalui bercerita (berbagi pengalaman) dan menurunkan nilai-nilai dari orang tua kepada anak. Cerita Y dan R kepada anak-anaknya mencakup nilai moral (relijiusitas), serta pengalaman hidup (memberi pemahaman bahwa di masa yang akan datang tidak semua orang perlu menjadi ahli dalam semua hal, mengenai pengalaman masa sekolah/kuliah dan profesi), serta pelajaran yang didapat agar anaknya tidak mengulangi di masa depan (bahwa perfeksionisme adalah bukan hal yang positif bagi diri sendiri).

Generativitas sebagai istilah psikologi dipopulerkan oleh Erik Erikson ketika ia memperkenalkan teori perkembangan psikososialnya. Generativitas vs stagnasi adalah tahap ketujuh dalam teori tersebut yang disematkan pada usia dewasa madya (middle adulthood) (Papalia, Olds & Feldman 2009). Generativitas didefinisikan sebagai kepedulian dan komitmen untuk memajukan generasi masa depan melalui pengasuhan, pengajaran, pendampingan, dan menghasilkan produk dan hasil yang bertujuan untuk memberi manfaat bagi kaum muda dan mendorong kesejahteraan serta perkembangan individu dan sistem sosial yang akan hidup lebih lama dari dirinya sendiri (McAdams & de St. Aubin, 1998, dalam McAdams, 2001).

Generativitas dapat diekspresikan melalui banyak hal: pengasuhan, pengajaran, mentoring, kerja sosial, kepemimpinan, dan lain-lain. Kesemuanya mencakup usaha untuk mewariskan suatu bagian dari diri kita: sehingga kita dapat terus hidup bahkan setelah tiada (Scabini, 2016). Pengasuhan merupakan salah satu bentuk pendidikan dalam keluarga melalui generativitas orang tua. Pada berbagai budaya, bentuk generativitas dapat berupa penyampaian nilai-nilai kebenaran dan kebijaksanaan yang terbungkus dalam tradisi keagamaan atau suku (McAdams, 2013). Pada penelitian lintas budaya Hofer, dkk. (2014), generativitas berbanding lurus dengan jumlah anak yang dimiliki dan secara signifikan terkait dengan well-being (kesejahteraan) pada masa tua. Rasa generativitas juga dapat muncul dari peran sebagai orang tua (Karacan, 2014), namun bagi pasangan yang tidak memiliki anak, rasa generativitas dapat dipenuhi dengan meninggalkan warisan lain seperti dalam pekerjaan atau bahkan pengasuhan keponakan (Moore, 2016).

Pengasuhan yang positif menghasilkan pribadi dengan generativitas yang tinggi pada masa dewasa madya (McAdams & Guo, 2015) dan tingkat generativitas anak dipengaruhi oleh tingkat generativitas orang tua, terutama ibu (Guastello, Guatello & Briggs, 2014). Seseorang yang memiliki rasa generativitas yang lebih tinggi, akan lebih banyak berbagi mengenai berbagai cerita serta lebih terlibat dalam transfer nilai kepada generasi lebih muda (Pratt, Norris, Arnold & Filyer, 1999; Pratt, Norris, Hebblethwaite & Arnold 2008). Cerita yang dibagi oleh orang dewasa berisi kisah hidup yang menunjukkan komitmen terhadap keyakinan pribadi dan perilaku pro-sosial. Cerita-cerita tersebut menjadi indikator generativitasnya dan usahanya untuk terhubung dengan keturunannya dan mengajarkan pelajaran hidup kepada mereka (Merrill & Fivush, 2016).

Bruner (1986) mengatakan bahwa ada dua cara manusia memperoleh pengetahuan/berpikir. Cara pertama, paradigmatik, adalah memperoleh pengetahuan melalui deskripsi rasional dan matematis. Cara kedua, naratif, adalah melalui cerita yang mendeskripsikan niat dan tindakan manusia beserta konsekuensi yang mengiringinya. Tujuannya adalah untuk memberikan pencerahan dengan cara menempatkan pengalaman tersebut dalam konteks waktu dan tempat. Dalam perkembangan moral, cara naratif (melalui cerita) banyak digunakan sebagai alat untuk menurunkan nilai-nilai kepada generasi muda, dan sebagai upaaya pembangunan identitas dan moral (Vitz, 1990; Tappan, 1997).

Keluarga merupakan sebuah ruang hubungan antara generasi, bukan hanya melalui ikatan darah namun melalui warisan nilai-nilai dan afektif. Keluarga merupakan peluang unik bagi orang tua untuk mewariskan sesuatu kepada anak-anak mereka, menumbuhkan identitas, sense of belonging (rasa memiliki) dan juga melanjutkan sejarah dan tradisi mereka (Amadini, 2015). Sangat umum terjadi bahwa fungsi orang yang lebih tua dalam keluarga adalah sebagai penyampai nilai-nilai dan tradisi. Mergler & Goldstein (1983) bahkan menemukan bahwa orang yang lebih tua juga lebih terkondisikan secara fisik dan psikis untuk mentransmisikan informasi terutama secara oral kepada generasi yang lebih muda. Walaupun kakek & nenek tidak bertanggung jawab secara langsung kepada cucu, salah satu fungsi utama kakek dan nenek adalah mewariskan nilai, terutama nilai relijiusitas dan tradisi (Noriega, Velasco & López, 2019).

Cerita yang umum dibagikan orang tua kepada anaknya salah satunya adalah cerita mengenai masa kecil atau masa mudanya. Biasanya cerita ini dibagi ketika anaknya sedang meminta saran, atau dalam situasi tertentu yang mengingatkan orang tua kepada pengalamannya sendiri, atau hanya karena cerita tersebut menghibur. Melalui cerita ini, orang tua membagi nilai yang ia pegang, membangun hubungan emosional dengan anaknya, serta kekhasan keluarganya yang berbeda dengan keluarga lain (Merrill & Fivush, 2016). Dalam berbagi cerita di keluarga, waktu makan bersama sangat penting peranannya dalam menciptakan bonding (kerekatan), membangun norma, dan mengajarkan keterampilan hidup karena salah satu tempat dimana proses bercerita sering terjadi adalah pada saat makan bersama (Merrill, Gallo & Fivush, 2014).

McAdams & Guo (2015) dalam penelitiannya menganalisis cerita hidup antar generasi di Amerika Serikat dan menemukan bahwa orang dengan generativitas tinggi memiliki kecenderungan untuk membagi cerita hidup dengan tema “penebusan diri”, yaitu cerita mengenai perubahan suatu situasi negatif menjadi positif, dan pengalaman dalam mengalami kesulitan atau penderitaan namun berakhir positif dan membuat ia bertumbuh. Mengingat kembali masa lalu atau bercerita dengan konsep penebusan diri dinilai dapat memberi kekuatan kepada pencerita untuk terus bersemangat dalam menghadapi tantangan dalam keterlibatan generatifnya (misalnya dalam pengasuhan anak atau menjadi mentor). Pada umumnya dalam cerita bertema penebusan diri tersebut, subjek dalam cerita: (a) merupakan seseorang yang memiliki karakter positif, (b) memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain, (c) memiliki moralitas yang teguh, (d) berulang kali mengubah situasi negatif menjadi hasil positif, (e) memiliki tujuan pro-sosial untuk masa depan.

Fabius (2016) dalam studinya meneliti mengenai hubungan identitas naratif, generativitas dan kebiasaan bercerita pada komunitas Afrika-Amerika. Bagi komunitas Afrika-Amerika, bercerita merupakan metode komunikasi intergenerasi yang digunakan selama beratus tahun sebagai cara generasi muda untuk mengenal nilai-nilai budaya dan keluarga, serta mempelajari sejarah resiliensi kaumnya. Penelitian ini menunjukkan peran generatif orang tua (atau yang dituakan) melalui bercerita, yang sangat penting bagi komunitas Afrika-Amerika, dalam membersamai perkembangan generasi mudanya serta membantu keluarga dalam keadaan sulit.

Lim, dkk. (2019) dalam studinya memaparkan laporan program IGP (intergenerational program) di Singapura, sebuah kolaborasi antara panti wreda (senior care center) dan tempat penitipan anak (childcare). Dalam program tersebut, lansia dari panti wreda yang mengidap demensia dalam berbagai tingkat melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak sebagai mentor/pembimbing dalam program yang bersifat selebrasi kultural. Dalam kegiatan tersebut, para lansia diberi kesempatan untuk berbagi cerita, dan anak-anak juga belajar mengenai budaya yang semakin pudar di kalangan muda. Melalui kegiatan tersebut, para lansia menunjukkan rasa memiliki tujuan (sense of purpose) yang meningkat dari kegiatan berbagi, serta peningkatan keikutsertaan sosial.

            Dapat disimpulkan bahwa generativitas dapat mengambil berbagai bentuk. Salah satu bentuk generativitas yang umum dalam keluarga adalah melalui bercerita. Keluarga merupakan peluang unik bagi seseorang (orang tua) untuk mewariskan sesuatu kepada anak-anaknya. Dalam lingkup keluarga, generativitas memiliki banyak tujuan positif, diantaranya untuk mewariskan keyakinan, nilai-nilai kebenaran, kebijaksanaan, serta membangun identitas generasi berikutnya terkait keluarga dan budaya. Dalam berbagai budaya, generativitas antargenerasi melalui cerita memiliki motif yang berbeda-beda; diantaranya sebagai bentuk penyemangat diri, mewariskan sejarah dan budaya, serta meningkatkan rasa memiliki tujuan (sense of purpose) di masa tua.

Referensi:

Amadini, M. (2015). Transition to Parenthood and Intergenerational Relationships: The Ethical Value of Family Memory. Ethics and Education, 10(1), 36–48. doi:10.1080/17449642.2014.998022.

Bruner, J. (1986). Actual Minds, Possible Worlds. Cambridge: Harvard University Press.

Fabius, C. D. (2016). Toward an Integration of Narrative Identity, Generativity, and Storytelling in African American Elders. Journal of Black Studies, 47(5), 423–434. doi:10.1177/0021934716638801.

Guastello, D. D., Guastello, S. J., & Briggs, J. M. (2014). Parenting Style and Generativity Measured in College Students and Their Parents. SAGE Open, 4(1), 215824401351805. doi:10.1177/2158244013518053.

Hofer, J., dkk. (2014). For the Benefit of Others: Generativity and Meaning in Life in the Elderly in Four Cultures. Psychology and Aging, 29(4), 764–775. doi:10.1037/a0037762.

Karacan, E. (2014). Timing of Parenthood and Generativity Development: An Examination of Age and Gender Effects in Turkish Sample. Journal of Adult Development, 21(4), 207–215. https://doi.org/10.1007/s10804-014-9192-z.

Lim, C. C. L., dkk. (2019). Generativity: Establishing and Nurturing the Next Generation. Journal of Intergenerational Relationships, 17(3), 368–379. doi:10.1080/15350770.2019.1617603.

McAdams, D.P. in Lachman, M.E. (Smyer, M. – Editor). (2001). Generativity in Midlife – in Handbook of Midlife Development. New York: John Wiley & Sons, Inc.

McAdams, D.P. (2013). The Redemptive Self: Stories Americans Live By. New York: Oxford University Press.

McAdams, D.P. & Guo, J. (2015). Narrating the Generative Life. Psychological Science, 26(4), 475–483. doi:10.1177/0956797614568318.

Mergler, N. L., & Goldstein, M. D. (1983). Why Are There Old People. Human Development, 26(2), 72–90. doi:10.1159/000272872.

Merrill, N., Gallo, E. & Fivush, R. (2015). Gender Differences in Family Dinnertime Conversations. Discourse Processes, 52(7), 533–558. doi:10.1080/0163853x.2014.958425.

Merrill, N., & Fivush, R. (2016). Intergenerational Narratives and Identity Across Development. Developmental Review, 40, 72–92. doi:10.1016/j.dr.2016.03.001.

Moore, R. M., Allbright-Campos, M., & Strick, K. (2016). Childlessness in Midlife: Increasing Generativity Using a Narrative Approach. The Family Journal, 25(1), 40–47. doi:10.1177/1066480716679647.

Noriega, C., Velasco, C., & López, J. (2019). Perceptions of Grandparents’ Generativity and Personal Growth in Supplementary Care Providers of Middle-aged Grandchildren. Journal of Social and Personal Relationships, 026540751988666. doi:10.1177/0265407519886661.

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D.  (2009). Human Development 11th Edition. New York: McGraw Hill.

Pratt, M. W., Norris, J. E., Arnold, M. L., & Filyer, R. (1999). Generativity and Moral Development as Predictors of Value-socialization Narratives for Young Persons Across the Adult Life Span: From Lessons Learned to Stories Shared. Psychology and Aging, 14(3), 414–426. doi:10.1037/0882-7974.14.3.414.

Pratt, M.W., Norris, J.E., Hebblethwaite, S., & Arnold, M.L. (2008). Intergeneration Transmission of Values: Family Generativity and Adolescents’ Narratives of Parent and Grandparent Value Teaching. Journal of Personality, 76(2), 171-198. DOI: 10.1111/j.14676494.2007.00483.x.

Scabini, E. (2016). Family Relationships: A Long-lasting Source of Well-being. Community Psychology in Global Perspective, 2(1), 36-51. https://doi.org/10.1285/I24212113V2I1P36.

Tappan, M. B. (1997). Language, Culture, and Moral Development: A Vygotskian Perspective. Developmental Review, 17(1), 78–100. doi:10.1006/drev.1996.0422.

Vitz, P. (1990). The Use of Stories in Moral Development: New Psychological Reasons for an Old Educational Method. American Psychologist, 45(6), 709–720. https://doi.org/10.1037/0003-066X.45.6.709.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *