Elvia Devi & Tina Janeti
Menurut Al-Ghazali sifat-sifat jiwa manusia antara lain: “Bertabiat Ilahiyah”, memiliki rasa rindu dengan kebaikan dan kesucian sehingga ia menerima dan ingin selalu kembali ke alam atas mendekatkan diri pada Tuhannya. Sedangkan menurut Sigmund Freud berpandangan bahwa Psyche (Jiwa) merupakan kesatuan mental manusia yang bekerja secara mekanis. Bahwa seluruh gangguan kejiwaan secara radikal adalah disebabkan oleh pergolakan aktivitas alam tak sadar. Menurut pemikiran Al Ghazali dan Freud, jiwa manusia dapat potensi untuk menjadi tentram namun sebaliknya jiwa manusia dapat terganggu kejiwaannya yang menyebabkan keresahan. Keduanya sepakat tentang adanya dorongan nafsu nafsu dasar dalam jiwa manusia sehingga lebih lanjut disadari tentang adanya mekanisme psikis yang sangat kompleks.
Dari uraian pemikiran Al Ghazali dan Freud, dalam menciptakan kondisi jiwa yang tenang dan tentram diperlukan pengetahuan tentang jiwa terlebih dahulu baik secara agama maupun secara teori, sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan seimbang, agar terciptanya sebuah ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa menurut Sigmund Freud bercorak materialistis dan sebagai metode terapinya adalah dengan menunjukan benda-benda empirik yang tidak akan pernah ada habisnya. Sehingga dengan begitu akan menghasilkan ketenangan jiwa yang labil yang selalu masih terus menuntut pemuasan berikutnya. Dengan demikian, kenangan jiwa yang dihasilkan konsep Freud bersumbu pada keterpuasan nafsu nafsu impulsif yang tidak dapat menghasilkan ketenangan yang hakiki. (Sebagai contoh: seorang anak kecil yang sedang menangis bila diberikan mainan akan berhenti menangis, namun ia akan bosan dan menangis lagi sehingga meminta mainan yang lain).
Sedangkan menurut Al-Ghazali yaitu jiwa bersifat abadi, bersifat suci, dan akan mengalami ketentraman apabila dapat dibersihkan dari dorongan nafsu-nafsu syahwat yang rendah, dan sebaliknya dapat mendekatkan diri dengan proses tazkiyatun nafs atau proses penyucian jiwa dari perbuatan buruk. Metode ketenangan jiwa yang dicanangkan Al-Ghazali bernuansa spiritual-intuitif berupa seperangkat olah bathin dengan kombinasi antara dimensi pikir dan rasa.
Kesimpulan
Al-Ghazali maupun Freud melihat jiwa sebagai entitas yang rumit karena memiliki struktur-struktur,dan lapisan-lapisannya sendiri. Perbedaannya, Al Ghazali melihat jiwa sebagai entitas yang hakiki dengan sifat dasarnya yang suci karena teridentifikasi dengan Tuhan. Sedangkan Freud melihat jiwa sebagai entitas spiritual bentukan yang berbasis krakter ketidaksadaran yang selalu menuntut terpenuhinya kesenangan-kesenangan temporal.
Al-Ghazali dalam Tazkiyat Al-nafs ingin mempertahankan kesucian jiwa untuk mencapai ketenangan. Sedangkan Freud berupaya dalam metode Psikoanalisisnya dengan menyadarkan Id, Ego, dan Super Ego dalam setiap individu untuk memperoleh kesehatan jiwa.
Referensi:
Gojali, Muchtar. (2016). Psikologi Tasawuf. Bandung: UINSGD
Syakur, A. (2007). Metode Ketenangan Jiwa: Suatu Perbandingan antara Al-Ghazali dan Sigmund Freud. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 1(2). DOI: https://doi.org/10.15642/islamica.2007.1.2.162-173